Oleh: Ajat M Fajar
nasional - Jumat, 11 Juli 2014 | 10:57 WIB
INILAHCOM, Jakarta - Pengamat politik UIN Sunan Kalijaga
Iswandi Syahputra menilai lembaga survei yang mengklaim hasil quick
count Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang dan paling akurat, merupakan
sikap sangat arogan jika hasil Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti berbeda
dengan mereka.
Merasa merasa paling benar dan anti terhadap perbedaan. Mereka menuding jika hasil quick count berbeda dengan KPU, komisi tersebut dicurigai 'bermain' dalam perubahan suara itu.
"Pernyataan tersebut sangat arogan. Begitulah kalau sudah panik, jangankan negara Tuhan-pun dilawan. Pernyataan tersebut mendahului kehendak Tuhan," tandas Iswandi, di Jakarta, Jumat (11/7/2014).
Menurut dia, dalam sistem penghitungan cepat sangat dimungkinkan adanya kesalahan. Namun hasil quick count itu tidak boleh direkayasa untuk kepentingan tertentu.
"Benar, tapi tidak akurat itu, misalnya, hitung cepat pileg April lalu. Berdasarkan quick count, benar PDIP pemenang pileg. Tapi banyak lembaga survei yang tidak akurat dalam presentasi jumlahnya melampaui margin error yang ditetapkan," kata dia.
Iswandi mengatakan, banyak juga hasil quick count yang dilakukan tidak benar dan tidak akurat. Dia mencontohkan kasus pilpres 2004 dimana beberapa quick count menyebut pasangan Megawati-Hasyim Muzadi sebagai pemenang pilpres.
Saat itu TVRI bekerja sama dengan Institute for Social Empowerment and Democracy menyebut sebut pasangan Mega-Hasyim menang tipis 50.07% dari pasangan SBY-JK yang peroleh 49.93%.
"Setelah dihitung resmi oleh KPU pasangan Mega-Hasyim ternyata kalah. Demikian juga hitung cepat Pilkada Jabar 2013. Hitung cepat lembaga survei sebut pasangan Rieke-Teten yang didukung juga oleh PDIP unggul tipis 30,4% dari pasangan Aher-Deddy Mizwar 29,4%. Tapi hitungan KPU putuskan Aher-Deddy yang menang," ungkapnya.
Untuk itu, Iswandi mengajak publik agar tak mempercayai semua hasil quick count Pilpres 2014. Sebab, para lembaga survei khususnya yang ada di kubu Jokowi-JK sangat memiliki kepentingan yang besar di pilpres ini.
"Namanya hitung cepat, tapi hasilnya belum tentu akurat dan tepat. Mereka yang mengklaim hitung cepat paling benar itukan dibayar mahal. Mereka ini yang sebenarnya membajak demokrasi. Sistem demokrasi kita sudah mengatur hitungan KPU yang sah. Jangan arogan merampas kewenangan KPU. Serahkan semua soal penghitungan suara pada KPU. Biarkan mereka bekerja dengan tenang," tandasnya.[yeh]
Merasa merasa paling benar dan anti terhadap perbedaan. Mereka menuding jika hasil quick count berbeda dengan KPU, komisi tersebut dicurigai 'bermain' dalam perubahan suara itu.
"Pernyataan tersebut sangat arogan. Begitulah kalau sudah panik, jangankan negara Tuhan-pun dilawan. Pernyataan tersebut mendahului kehendak Tuhan," tandas Iswandi, di Jakarta, Jumat (11/7/2014).
Menurut dia, dalam sistem penghitungan cepat sangat dimungkinkan adanya kesalahan. Namun hasil quick count itu tidak boleh direkayasa untuk kepentingan tertentu.
"Benar, tapi tidak akurat itu, misalnya, hitung cepat pileg April lalu. Berdasarkan quick count, benar PDIP pemenang pileg. Tapi banyak lembaga survei yang tidak akurat dalam presentasi jumlahnya melampaui margin error yang ditetapkan," kata dia.
Iswandi mengatakan, banyak juga hasil quick count yang dilakukan tidak benar dan tidak akurat. Dia mencontohkan kasus pilpres 2004 dimana beberapa quick count menyebut pasangan Megawati-Hasyim Muzadi sebagai pemenang pilpres.
Saat itu TVRI bekerja sama dengan Institute for Social Empowerment and Democracy menyebut sebut pasangan Mega-Hasyim menang tipis 50.07% dari pasangan SBY-JK yang peroleh 49.93%.
"Setelah dihitung resmi oleh KPU pasangan Mega-Hasyim ternyata kalah. Demikian juga hitung cepat Pilkada Jabar 2013. Hitung cepat lembaga survei sebut pasangan Rieke-Teten yang didukung juga oleh PDIP unggul tipis 30,4% dari pasangan Aher-Deddy Mizwar 29,4%. Tapi hitungan KPU putuskan Aher-Deddy yang menang," ungkapnya.
Untuk itu, Iswandi mengajak publik agar tak mempercayai semua hasil quick count Pilpres 2014. Sebab, para lembaga survei khususnya yang ada di kubu Jokowi-JK sangat memiliki kepentingan yang besar di pilpres ini.
"Namanya hitung cepat, tapi hasilnya belum tentu akurat dan tepat. Mereka yang mengklaim hitung cepat paling benar itukan dibayar mahal. Mereka ini yang sebenarnya membajak demokrasi. Sistem demokrasi kita sudah mengatur hitungan KPU yang sah. Jangan arogan merampas kewenangan KPU. Serahkan semua soal penghitungan suara pada KPU. Biarkan mereka bekerja dengan tenang," tandasnya.[yeh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar