SALAM GARUDA MERAH

Jumat, 11 Juli 2014

BERITA SEPUTAR PILPRES, JULI 2014

Lembaga Quick Count Intimidasi Intelektual
Headline
ilustrasi-inilahcom
Oleh: Fadhly Zikri
nasional - Jumat, 11 Juli 2014 | 10:56 WIB

INILAHCOM, Jakarta - Pengamat Pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Said Salahuddin menyayangkan hasil hitung cepat atau quick count lebih dianggap sah daripada hasil Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Berbahaya, pernyataan tentang hasil perhitungan resmi KPU dianggap salah jika berbeda dengan hasil hitung cepat lembaga survei," kata Said di Jakarta, Jumat (11/7/2014).

Menurut dia, wajar jika suatu lembaga quick count mengklaim data yang mereka gunakan akurat. Sebagai jasa yang komersil, hasil kebanyakan quick count hanya untuk menyenangkan pengguna jasa mereka.

"Tetapi kalau suatu lembaga survei sampai berani menyatakan KPU pasti salah apabila hasil penghitungan suaranya berbeda dengan hasil hitung cepat lembaga itu, apalagi sampai menyatakan munculnya perbedaan hasil itu pasti karena ada kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, maka itu sudah sangat kelewatan," ungkapnya.

"Sebagai pegiat di bidang Pemilu saya tidak bisa terima kalau KPU diancam-ancam seperti itu. Itu intimidasi intelektual namanya," tandasnya.

Seperti diketahui, pasca-pemungutan suara dilakukan 9 Juli lalu, muncul data yang berbeda-beda tentang prediksi hasil pemilu. Ada yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, dan Jokowi-JK.

Kebingungan di tengah masyarakat pun semakin bertambah, ketika pasangan Jokowi-JK mendeklarasikan kemenangan hanya beberapa jam setelah TPS ditutup, dengan berpatokan pada hasil quick count. [rok]
Kiamat Lembaga Survei di Pilpres 2014
Headline
Peneliti senior The Founding Fathers House (FFH). Dian Permata - (Foto: istimewa)
Oleh: Iwan Purwantono
nasional - Jumat, 11 Juli 2014 | 04:15 WIB
INILAHCOM, Jakarta - Kisruh quick count di pilpres 2014 bakal menjadi preseden buruk bagi seluruh lembaga survei. Rakyat bakal sulit mempercayai independensi dan akurasi kinerja lembaga survei yang ada.

Hal ini diungkapkan peneliti senior The Founding Fathers House (FFH) Dian Permata. Ia mengatakan, kegaduhan para lembaga survei seharusnya tidak perlu terjadi. Kondisi ini semakin membuat rakyat bingung dan tak percaya lagi.

‘’Celakanya, para ‘dewa-dewa’ survei yang bertarung merasa paling benar dan saling serang,’’ katanya kepada INILAHCOM, di Jakarta, Kamis (10/07/2014).

Dikatakan alumnus University Sains Malaysia (USM) itu, seluruh lembaga survei seharusnya berani terbuka dan jujur. Kalau mereka adalah bagian dari timses salah satu capres, sebaiknya dibuka saja.

‘’Ini perlu dilakukan agar kepercayaan publik bisa diraih kembali. Dua atau tiga minggu menjelang pilpres, lembaga survei mainstream rajin mengeluarkan hasil risetnya. Tapi, detik-detik akhir malahan membisu. Ini kan mencurigakan,’’ terangnya.

Selanjutnya, dia mengingatkan agar seluruh lembaga survei bisa menahan diri. Adanya perbedaan hasil perhitungan mungkin saja dipicu sistem yang dirusak melalui jaringan IT. Karena hitung cepat atau quick count itu sangat bergantung sistem IT.

‘’Gallup yang menemukan ilmu quick count saja, pernah meleset saat pilpres Amerika Serikat pada 1948. Apalagi di sini. Sebaiknya tahan dirilah semuanya,’’ tandas dia.[ris]
KPU dan KPI Harus Setop Siaran Quick Count Pilpres
Headline
Direktur Eksekutif POINT Indonesia Karel Susetyo - (Foto: istimewa)
Oleh: Ahmad Farhan Faris
nasional - Jumat, 11 Juli 2014 | 08:10 WIB
INILAHCOM, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menghentikan semua penayangan perhitungan cepat sementara atau quick count yang dilakukan lembaga survei setelah pemilihan presiden, Rabu (9/7/2014) lalu.

"Menurut saya semua penayangan quick count harus disetop oleh KPU dan KPI, termasuk RRI," kata Direktur Eksekutif POINT Indonesia Karel Susetyo kepada INILAHCOM, Kamis (10/7/2014).

Dia menjelaskan, penayangan hasil hitung cepat di seluruh media bisa membawa dampak buruk pada situasi keamanan yang sebenarnya berada pada titik kondusif. Apalagi, penayangan itu dilakukan secara terus menerus.

"Jelas ini adalah perang propaganda antar capres, yang bertujuan untuk mendominasi opini publik. Efeknya jelas, bisa mempengaruhi sikap pendukung di akar rumput, mereka akan semakin militan," ujarnya.

Menurut dia, apabila militansi ini bertemu antar pendukung calon presiden, konflik fisik bisa saja terjadi dengan mudah di fase penghitungan bertahap. Lalu, juga bisa mempengaruhi kondisi psikologis dari penyelenggara pemilihan presiden dimana penyelenggara dalam posisi pressure yang tinggi.

"Oleh karena itu, sudah sepantasnya KPI menyetop semua tayangan hitung cepat di semua media massa. Karena berpotensi menciptakan konflik terbuka di tingkat akar rumput," tandas dia.[ris]





  Foto Dini Yuni.




 
 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar